Sunday, May 19, 2019


LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI HEWAN
PENGUKURAN FAKTOR FISIK

1.   Waktu dan Tempat
Adapun waktu dan tempat pelaksanaan praktikum adalah :
Tanggal     : Sabtu, 27 April 2019
Pukul         : 08.00 s/d selesai
Tempat      : Hutan Mangrove, Kuala Langsa

2.   Tujuan Praktikum
Adapun tujuan dari praktikum ini ialah untuk mengetahui suhu tanah dan suhu lingkungan dari habitat hewan tanah.

3.   Alat
·         Alat  :
-          Termometer
-          Pengukur salinitas

4.    Landasan Teori
Struktur tanah merupakan partikel-partikel tanah seperti pasir, debu dan liat yang membentuk agregat tanah antara suatu agregat dan agregat yang lainnya. Dengan kata lain struktur tanah berkaitan dengan agregat tanah dan kemantapan agregat tanah karena bahan organic bertindak sebagai bahan perekat antara partikel mineral primer. Penggunaan bahan organic mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah sehingga menunjang pertumbuhan tanaman yang lebih baik (Sutanto, 2002).
Bahan organic berpengaruh terhadap sifat fisik tanah yaitu dapat meningkatkan stabilitas agregat tanah, sehingga mencitakan struktur tanah yang mantap dan ideal bagi pertumbuhan tanaman yang berakibat pada tingkat porositas yang baik dan mengurangi tingkatan kepadatan tanah, sehingga akan menciptakan agregat-agregat yang stabil. Kedalaman tanah menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kemantapan tanah (Khari,2007).
Tanah dengan kandungan bahan organic dan populasi cacing yang tinggi terhadap berat isi kemantapan agregat tanah. Bahan organic akan meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah dan menciptakan struktur tanah lebih baik sehinggga akan stabil (Rustam,2016).

5.    Hasil Pengamatan
Adapun hasil pengamatan dari praktikum ini adalah
Salinitas air
25 per ml
PH
6,4


6.    Pembahasan
Dari hasil pengamatan kami dari air yang kami ukur dengan alat pH meter dan salinitas meter terdapat salinitas dengan nilai 25 per ml dan pH 6,4. Kami mengambil sampel dibibir pantai dekat dengan mangrove. Pada salinitas (kadar garam) yaitu 25 per ml kadar cukup karena di ambil di laut. Ph 6,4 masih dikatakan konstan normal. Dari pengukuran ini dianggap penting untuk mengidentifikasi factor pendukung dalam kehidupan mangrove dan hewan benthos.
Pada daerah ini dengan pH 6,4 memungkinkan untuk hidup seperti gastropoda yang beragam dan tingkat sedang. Disamping itu kesesuaian pH dan salinitas juga mempengaruhi meolusca yang mendominasi terbukti pada pengamatan pada metode dekstruktif dan metode non dekstruktif yaitu F. ater.

7.    Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari praktikum yaitu :
a.       Salinitas adalah tingkatan keasinan atau kadar garam terlarut dalam air. Sainitas juga dapat mengacu pada kandungan garam dalam tanah.
b.      PH adalah suatu kadar pengukuran asam dan basa pada tanah.
c.       Dari hasil pengamatan kami pada sampel air salinitasnya 25 per ml dan pH 6,4 termasuk normal. Hal ini memungkinkan untuk hidup hewan benthos yang paing mendominasi F. ater.




















DAFTAR PUSTAKA
Jambak M.K., Baskoro D.W.T., Wahjunie E.N. 2017. Karakteristik Sifat Tanah pada
Sistem Pengolahan Tanah Konservasi. Jurnal Tanah dan Lahan. Vol. 1 No. 1: 44-50

Rustam, Umar H., Yusram. 2016. Sifat Fisik Tanah pada Berbagai Tipe Penggunaan
Lahan di Sekitar Taman Nasional. Vol. 4 No. 1 : 132-138. ISSN : 2400-8373

Sutanto R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Yogyakarta : Penerbit Kanisius  


LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI HEWAN
HEWAN TANAH
HEWAN DALAM TANAH (POPULASI CACING TANAH)
1.      Waktu dan Tempat
Adapun waktu dan tempat pelaksanaan praktikum adalah :
Tanggal     : Sabtu, 13 April 2019
Pukul         : 08.00 s/d selesai
Tempat      : Gedung Fakultas Pertanian

2.      Tujuan Praktikum
Adapun tujuan dari praktikum ini ialah untuk mengetahui berbagai jenis populasi hewan tanah dan cacing tanah.

3.      Alat dan Bahan
·         Alat  :
-          Kuadran
-          Cangkul
-          Meteran
-          Alat bedah
·         Bahan :
-          Kertas koran
-          Formalin

4.      Landasan Teori
Cacing tanah merupakan salah satu hewan tanah yang berperan penting dalam kesuburan tanah. Cacing berperan mencampurkan bahan organic kasar maupun halus antara lapisan atas dan bawah. Disamping itu, cacing dapat memperkaya hara tanah dengan kotorannya. Cacing membuat liang -liang menyebabkan aerasi tanah menjadi lebih baik (Haryanto, 2008:100).
Masing-masing spesies cacing tanah memiliki ciri spesifik sesuai dengan peran ekologis pada habitanya serta kebiasaan dalam menggali terowongan. Amynthas gracilis termasuk cacing tanah anesik. Cacing tanah anesik merupakan cacing tanah yang berukuran besar maupun membentuk terowongan yang dalam dan ukurannya yang lebih baik cacing tanah merupakan “soil engineer” yang berperan penting dalam mencampurkan tanah serasah dengan lapisan tanah dibawahnya (Husanah, 2017 : 29).
Secra umum aktivitas cacing tanah seperti organisme tanah pada umumnya, yaitu dipengaruhi berbagaifaktor antara lain:
a.       Iklim (curah hujan, suhu dll)
b.      Tanah (keasamaan, kelembapan, suhu, hara dll)
c.       Vegetasi (hutan, padang rumput, belukar dll) (Firmansyah,2004).
Sedangkan kepadatan populasi suatu jenis atau kelompok hewan tanah dapat dinyatakan dalam bentuk jumlah atau bermassa perunit contoh, atau persatuan luas, atau persatuan volume atau persatuan penangkapan. Kepadatan populasi sangat penting untuk menghitung produktivitas, tetapi untuk membandingkan suatu komunitas dengan komunitas lain parameter ini tidak tepat kepadatan relative dihitung dengan membandingkan kepadatan sesuatu jenis dengan kepadatan semua jenis yang terdapat dalam unit contoh tersebut (Dwiastuti, 2006).

5.      Hasil Pengamatan
Adapun hasil pengamatan dari praktikum ini adalah
Filum
Kelas
Ordo
Family
Genus
Spesies
Ʃ
Individu
Arthropoda
Chilopoda
Scolopendo morpha
Scolopendae
Scolopendia
S. forsibas
2
Arthropoda
Diplopoda
Spinliprida
Spirosteptidae
Spirosteptus
S. seychellarum
6
Arthropoda
Chitellata
Haplotaida
Lumbricudae
Lumbricus
L. talestris
3
Arthropoda
Insekta
Hymiopta
formiadea
Dolichehidus
D. tholacus
12

6.      Pembahasan
Dari tekstur tanah yang kai amati bahwa kelembapan tanah dan subur yang ditempuh oleh rumput-rumput liar. Dari jumlah dominan pada pengmatan kami adalah D. tholacus. Jenis hewan yang paling sedikit adalah S. forsibas karena kurangbegitu sesuai dengan lingkungannya. Kemunkinan tempat yang yang kami gali bukan daerah terbanyak. Pada area tersebut banyak rumput-rumput yang sehat karena aktivitas dari ke empat jenis hewan yang menambah unsur hara daric acing yang mengeluarkan kotoran dan juga membuat terowongan didalam tanah.
Bukan hanya cacing namun semut dan luwing juga berperan kesuburan. Dari pengamatn kami diarea tersebut juga banyak dipenagruhi rumput yang bervariasi dengan lingkungan yang bauk, pH yang sesuai dan kelembapan yang tepat membuat interaksi area praktikum kami memiliki jumlah yang lumayan banyak.
7.      Kesimpulan
Kepadatan populasi suatu jenis pada hewan tanah dipengaruhi oleh tekstur fisik tanah dan tumbuh. Tumbuhan karena dengan factor tersebut menentukan banyaknya jenis hewan berinteraksi. Dari praktikum kami hewan mendominasi adalah D. tholacus dimana semut hewab akan menguntungkan tumbuhan sebagai penyubur tanah dan factor lingkungan baik PH, kelembapan ketersediaan makanan membuat populasi hewan tanah meningkat.










DAFTAR PUSTAKA

Dwiastutis S. 2006. Kajian Tentang Kontribusi Cacing-Caing Tanah Perannya
Terhadap Lingkungan Kaitannya Dengan Kualitas Tanah. Seminar Nasional IX Pendidkan Biologi FKIP UNS

Firmansyah MA. 2014. Keanekaragaman Makrofauna Tanah di Kawasan Perkebunan
Coklat Sebagai Bioindikaor Kesuburan Tanah dan Sumber Belajar Biologi. Jurnal Pendidikan Biologi Indonesia. Vol 1. No. 2 (ISSN : 2442-3750)

Haryanto S. 2008. Ekologi Hewan. Surabaya : Airlangga University Press

Husamah. 2017. Ekologi Hewan. Malang : Universitas Muhammadiya Malang




Tuesday, May 7, 2019

PEMBUATAN TEMPE GEMBUS BERBAHAN DASAR AMPAS TAHU KACANG KEDELAI (Glycine max (L) Merril)


DASAR BIOTEKNOLOGI
PEMBUATAN TEMPE GEMBUS BERBAHAN DASAR AMPAS TAHU KACANG KEDELAI (Glycine max (L) Merril)


                    Disusun oleh :

             Daniati Barus                                      (160402019)
             Ica Veronika Maha                             (160402013)
             Lili Tasha Bela                                   (150402015)
             Ninta Sabrina Br Tarigan                    (160402023)
             Suganda                                              (160402025)


                Dosen Pengampu :

                   Ekariana S. Pandia, S.Si., M.Pd


 












PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SAMUDRA

2019

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kedelai adalah salah satu komoditi pangan utama Indonesia setelah padi. Konsumsi kedelai pada tahun 2009 mencapai 2,3 juta ton per tahun. Dari jumlah ini, 50% dikonsumsi berupa tempe, 40% berupa tahu  dan 10% berupa produk kedelai lainnya seperti minyak kedelai (Ekasari, 2009). Di samping itu, konsumsi masyarakat yang tinggi terhadap kedelai berupa tempe dan tahu menyebabkan banyak pabrik-pabrik tempe  dan tahu didirikan di Indonesia. Pada pabrik pembuatan tahu, dalam pembuatannya menghasilkan hasil samping berupa limbah pabrik tahu. Limbah pabrik tahu terdiri dari ampas tahu yang berkisar antara 25-67% produksi (http://cisaruafarm. com/bahan-baku- pakan/ampas-tahu/).
Menurut data Biro Pusat Statistik, pada tahun 1990 ampas tahu yang diperoleh sebagai hasil samping proses pembuatan tahu adalah sebanyak 13.057 ton, (Jenie dkk.,  1994) sedangkan pada  tahun 1999 adalah sebanyak 731.501 ton (Tarmidi, 2003). Terjadi peningkatan sebesar 700.000 ton dalam jangka waktu 9 tahun. Ampas tahu merupakan limbah padat sisa pengolahan kedelai menjadi tahu. Ampas tahu juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar tempe karena kandungan gizinya yang masih tinggi. Direktorat Gizi Departeman Kesehatan RI (1979) dalam buku Astawan (2009), ampas tahu mengandung protein 26,6 gram  per  100  gram.
Tempe  merupakan  hasil  bioteknologi  khas  dari  Indonesia  dengan bahan dasar kacang-kacangan. Tempe secara umum dibuat dari bahan dasar kacang kedelai yang difermentasi dengan jenis kapang Rhizopus sp. Kandungan protein dalam tempe kedelai merupakan alternatif sumber protein nabati, yang kini semakain populer dalam gaya hidup manusia modern (Santoso, 1993).Tempe  dari  ampas  tahu  ini  disebut  sebagai  tempe gembus.  Tempe  gembus  dipasarkadalam  harga  yang  rendah,  hal  ini mungkin dikarenakan tempe gembus merupakan hasil dari pengolahan limbah yang masih dianggap kualitasnya yang rendah.
Proses pembuatan tempe selain membutuhkan bahan baku, juga dibutuhkan ragi tempe untuk proses fermentasinya. Ragi tempe juga dikenal sebagai laru atau usar merupakan kumpulan spora kapang yang digunakan untuk bahan pembibitan dalam pembuatan tempe. Mikroba yang sering dijumpai pada laru tempe adalah kapang jenis  Rhizopus oligosporus atau kapang dari jenis Rhizopus oryzae (Suprihatin, 2010).

1.2. Rumusan Masalah
      1.      Bagaimana  cara pembuatan tempe gembus berbahan dasar ampas tahu kacang kedelai (Glycine max (L) Merril)?
      2.       Berapa keuntungan yang diperoleh pada tempe gembus berbahan dasar ampas tahu kacang kedelai (Glycine max (L) Merril) dengan berat 1 kilogram?
1.3. Tujuan
      1.       Mengetahui cara pembuatan tempe gembus berbahan dasar ampas tahu kacang kedelai (Glycine max (L) Merril
      2.       Mengetahui keuntungan yang diperoleh pada tempe gembus berbahan dasar ampas tahu kacang kedelai (Glycine max (L) Merril) dengan berat 1 kilogram





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Morfologi dan kandungan gizi kedelai (Glycine max (L) Merril)
Kedelai merupakan tanaman semusim, berupa semak rendah, tumbuh tegak,  berdaun  lebat  dengan  beragam  morfologi.  Tinggi tanaman   berkisar   10-20 cm, dapat bercabang sedikit atau banyak tergantung  kultivar  dan  lingkungan  hidup.  Kultivar  berdaun  lebar dapat   memberikan   hasi bij yan lebih  tinggi   karena  mampu menyerap sinar matahari yang lebih banyak jika dibandingkan dengan kultivar berdaun sempit.


Taksonomi dari Glycine max (L) Merril adalah sebagai berikut (Lamina, 1989):
Ordo            : Polypetales
Famili         : Leguminoceae
Sub Famili  : Papilionodeae
Genus          : Glycine
Sub Genus  : Soja
Spesies        : Glycine max (L) Merril
Wolf dan Cowan (1971) mengungkapkan bahwa komposisi kimia kedelai tergantung pada varietas, kesuburan tanah dan  kondisi ikli (Ariani, 1997). Suprapto (1993) dalam Nurkhayati (2002) menyebutkan bahwa kedelai mengandung asam-asam amino penting, yaitu isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin, triptofan dan valin. Liu (1997) menyebutkan bahwa kedelai mengandung fosfolipid, vitamin, mineral, inhibitor tripsin, asam fitat, oligosakarida dan isoflavon.
Komposisi kimia rata-rata kedelai utuh dalam bentuk biji kering tiap 100 gram ditunjukkan pada Tabel 1 (Direktorat Gizi DEPKES RI, 1972).
Tabel 1. Komposisi Kimia Rata-rata Kedelai Utuh tiap 100 gram
Komposisi Kimia
Kadar (gram)
Protein *)
34,9
Lemak
18,1
Karbohidrat
34,8
Kalsium
22,7 x 10-2
Phosphor
              58,5 x 10-2
Besi
80,0 x 10-4
Air
75,0 x 10-4
Vitamin B1
11,0 x 10-4
Vitamin A
11,0 x 101
*) Kadar protein dihitung berdasarkan N total

2.2. Ampas Tahu
Pembuatan susu kedelai dan tahu di dalam pabrik menghasilkan sejumlah besar residu (ampas) sebagai limbah produksi dan pembuangannya dapat menyebabkan masalah lingkungan yang besar. Ampas tahu biasanya digunakan untuk pakan ternak, karena masih mengandung protein dan berasal dari kedelai yang telah dimasak. Selain itu ampas tahu juga dimanfaatkan sebagai bahan pembersih lantai dan bahan baku pembuat tempe gembus (tempe dengan bahan dasar ampas tahu), tempe bongkrek (tempe dengan bahan dasar ampas tahu dan ampas kelapa) dan oncom (semacam tempe yang dibuat dari ampas tahu dan bungkil kacang tanah) (Marnani, 2002). Ampas tahu dalam keadaan basah dan kering mempunyai kandungan protein yang relatif sama yaitu 29,00% dan 27,98% bahan kering (Prabowo, 1983)



2.3. Tempe Gembus
Di   Indonesia, hasil   fermentasi   kedelai   ata kacang-kacangan   oleh Rhizopus sp. disebut tempe. Oleh karena itu nama tempe tergantung dari bahan yang digunakan. Tempe dari kedelai disebut tempe sedangkan yang terbuat dari ampas  tahu,  kacang  tolo,  kacang  benguk,  dan  ampas  kelapa  masing-masing disebut tempe gembus, tempe tolo, tempe benguk dan tempe bongkrek (Sarwono, 2000).
Tempe gembus ialah tempe yang terbuat dari ampas tahu. Nama ini tidak menggambarkan bahan asalnya. Nama gembus menggambarkan keadaan fisik/tekstur bahan dasar dan tekstur tempe yang dihasilkan, berasal dari bahasa Jawa yang menggambarkan sesuatu yang lunak tetapi mempunyai bentuk tetap. Seperti diketahui, tahu  diproduksi dari sari kedelai. Sari kedelai ini diekstrak dengan air dari kedelai yang telah digiling secara basah lalu disaring dan diperas. Ampas  sisa saringan  dan  perasan  inilah  yang  digunakan  sebagai  bahan  dasar tempe gembus. Bahan tersebut masih kaya akan minyak, sehingga memiliki rasa yang gurih. Dari sudut nilai gizi, tempe gembus hampir tidak menyumbang apa- apa yang penting (Kasmidjo, 1990). Gandjar dan Slamet (1972) melaporkan bahwa tempe gembus bebas dari senyawa-seyawa racun.
Triyono, Pujamulyani dan Sutardi (2002) menyebutkan bahwa tempe gembus mengandung banyak protein terlarut. Protein terlarut merupakan protein yang  mudah  diserap  usus.  Kandungan  protein  terlarut  tempe  gembus  sebesar 39,39% dari total proteinnya (Nurkhayati, 2002).




BAB III
METODOLOGI
3.1. Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan pada pembuatan tempe gembus yaitu :
      1.      Kedelai 1 Kg 
      2.      Air
     3.      Ragi tempe secukupnya
     4.      Dandang
     5.      Plastik
     6.      Lilin
     7.      Blender

3.2. Prosedur Kerja
Adapun cara pembuatan pembuatan tempe gembus yaitu :
  1. Plih kedelai yang bersih dan besar ukurannya, kemudian cuci sampai bersih. 
  2. Rendam kedelai dalam air bersih selama 8 jam, Usahakan seluruh kedelai tenggelam. Dalam proses perendaman ini kedelai akan mengembang. 
  3. Bersihkan kembali kedelai dengan cara dicuci berkali kali. Usahakan kedelai ini sebersih mungkin untuk menghindari kedelai cepat masam. 
  4. Hancurkan kedelai dengan blender tambahkan air sedikit-demi sedikit sehingga kedelainya berbentuk bubur. 
  5. Masak bubur kedelai dengan hati-hati pada suhu 70-80 derajat (biasanya ditandai dengan gelembung kecil yang muncul pada kedelai yang dimasak). Ingat untuk menjaga agar kedelai jangan sampai mengental. 
  6. Saring bubur kedelai tersebut bersama batu tahu atau asam cukup, sambil diaduk secara perlahan.
            7.    Pisahkan ampas tahu dari sari kacang yang telah dperas. Kemudian kukus kembali dengan air              yang mendidih selama 30-40 menit pada api sedang.
            8.    Angkat dan dinginkan. Setelah dingin taburkan ragi 2 sendok di permukaan ampas tahu    
                 kemudian aduk merata hingga keseluruh bagian ampas tahu.
           9.      Siapkan plastik dan lilin untuk tempat fermentasi tempe gembus nanti.
          10.    Masukkan ampas tahu secukupnya ke dalam plastik kemudian tutup dengan membakar ujung 
                 plastik.   
1        11.  Tusuk-tusuk menggunakan jarum di permukaan plastik. Kemudian lakukan secara berulang- 
                ulang hingga ampas tahu habis.
          12.  Tunggu sekitar 2-3 hari setelah kembang dan jadi dapat diolah menjadi makanan sesuia selera.





BAB IV
BIAYA DAN RENCANA KEUNTUNGAN
4.1. Biaya Produksi
No.
Nama bahan
Kuantitas
Harga
1
Kedelai
1 kg
9.000
2
Minyak tanah
1 liter
5.000
3
Ragi
1 bks
3.000
4
Plastic
10 pcs
2.000
5
Lilin
1 pcs
1.000
Jumlah
20.000

4.2. Rencana Keuntungan
Jumlah biaya produksi sebesar           : Rp 20.000
Jumlah hasil produksi sebanyak         : 12 bungkus
Harga tempe perbungkus                    : Rp 3.000
jumlah yang didapatkan = harga tempe perbungkus x jumlah seluruh produk
                                           =   3.000 x 12
= Rp 36.000
Total keuntungan =  jumlah yang didapat – biaya produksi
                               =  36.000 – 20.000
                               =  Rp 16.000
Jadi keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 16.000



DAFTAR PUSTAKA

Ekasari, Y., 2009, Pengaruh Lama Fermentasi Rhizopus      Oligosporus    Terhadap    Kadar Oligosakarida dan Sifat Sensorik Tepung Tempe Kedelai,    Laporan    Tugas    Akhir, Program Studi S1 gizi, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Jenie, B.S.L., Ridawati, dan Rahayu, W.P., 1994, Produksi Angkak oleh Monascus purpureus dalam              Medium    Limbah    Cair    Tapioka, Ampas Tapioka, dan Ampas Tahu, Buletin Teknologi dan Industri Pangan, Vol. V no.3.
Tarmidi, A.R., 2003, Penggunaan Ampas Tahu dan Pengaruhnya pada Pakan Ruminansia, Laporan Penelitian, Universitas Padjajaran, Bandung




Lampiran.
Dokumentasi Tahap Pembuatan Tempe Gembus


                                               Gambar 2. Proses Pembuatan Tempe Gembus



LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI HEWAN PENGUKURAN FAKTOR FISIK 1.    Waktu dan Tempat Adapun waktu dan tempat pelaksanaan praktikum adala...